BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Perkembangan
pelayanan dan pendidikan kebidanan nasional maupun internasional terjadi begitu
cepat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pelayanan dan pendidikan
kebidanan merupakan hal yang penting untuk dipelajari dan dipahami oleh petugas
kesehatan khususnya bidan yang bertugas sebagai bidan pendidik maupun bidan di
pelayanan.
Salah satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin, khususnya di negara berkembang dan di negara miskin yaitu sekitar 25-50%.
Mengingat hal diatas, maka penting bagi bidan untuk mengetahui sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan karena bidan sebagai tenaga terdepan dan utama dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi diberbagai catatan pelayanan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal dan bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan serta meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
Salah satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin, khususnya di negara berkembang dan di negara miskin yaitu sekitar 25-50%.
Mengingat hal diatas, maka penting bagi bidan untuk mengetahui sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan karena bidan sebagai tenaga terdepan dan utama dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi diberbagai catatan pelayanan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal dan bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan serta meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
1.2 TUJUAN
Mempelajari dan memahami sejarah perkembangan
pelayanan dan pendidikan kebidanan yang terjadi dalam lingkup nasional dan
internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Pelayanan Dan Pendidikan
Kebidanan Di
Indonesia
Perkembangan pendidikan dan pelayanan kebidanan di
Indonesia tidak terbatas dari masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan,
politik/kebijakan pemerintah dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan,
kebutuhan masyarakat serta kemajuan ilmu dan teknologi.
2.2 Perkembangan Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi
tanggung jawab praktik profesi bidan dalam system pelayanan kesehatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan
anak. Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan
kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan
meliputi :
a. Layanan kebidanan
primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung jawab bidan.
b. Layanan
kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim secara
bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
c. Layanan
kebidanan rujukan yaitu merupakan pengalihan tanggung jawab layanan oleh bidan
kepada system layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun
pengambil alihan tanggung jawab layanan/menerima rujukan dari penolong
persalinan lainnya seperti rujukan.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian
ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun
1807 (zaman Gubernur Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih
dalam pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena
tidak adanya pelatih kebidanan.
Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto).
Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto).
Saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran,
baru tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland, Ilmu kebidanan
diberikan sukarela. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada
tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang
dokter militer Belanda (dr. W. Bosch). Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu
dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh
bidan di desa. Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat
berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang
diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan
poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga
berencana, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi
kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di
Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada reproduktive health (kesehatan
reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi :
1. Safe Motherhood,
termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2. Family Planning.
3. Penyakit menular
seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan
reproduksi remaja
5. Kesehatan
reproduksi pada orang tua.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya
didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur
melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut
wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut dimulai dari :
a. Permenkes No.
5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara
mandiri, didampingi tugas lain.
b. Permenkes No.
363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989 wewenang bidan
dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus ditetapkan bila bidan
meklaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Pelaksanaan dari
Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan
dokter.
c. Permenkes No.
572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek bidan. Bidan
dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan
tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang
tersebut mencakup :
· Pelayanan
kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
· Pelayanan
Keluarga Berencana
· Pelayanan
Kesehatan Masyarakat.
d. Kepmenkes No.
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan revisi dari
Permenkes No. 572/VI/1996
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya.Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No. 900/2002 tidaklah mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya.Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No. 900/2002 tidaklah mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.
2.3 Perkembangan Pendidikan Kebidanan
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan
perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab
kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam
pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal. Pendidikan bidan
dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter
militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di
Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta didik
yang disebabkan karena adaanya larangan atatupun pembatasan bagi wanita untuk
keluaran rumah. Pada tahunan 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi
wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan
bidan bagi wanita indo dibuka di Makasar. Luluasan dari pendidikan ini harus
bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong
masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat
tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian
dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan
secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari
HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya
menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik
wanita pertama dan bagi perawat wanita yang luluas dapat meneruskan
kependidikan kebidanan selama dua tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke
pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga. Pada tahun
1935-1938 pemerintah Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo
(Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa
kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB
Mardi Waluyo di Semarang. DI tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang
membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan
dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan selama tiga tahun tersebut
Bidan Kelas Satu (Vreodrouweerste Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri)
di sebut Bidan Kelas Dua (Vreodrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut
ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang,
pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar
yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan
Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka
mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan
SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun.
Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka
pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu
Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup.
Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan
dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discountinued).
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discountinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara
bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung.
Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun
dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi
pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini
menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan. Pada tahun
1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah
Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah
Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan
secara merata diseluruh propinsi.
Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga kesehatan
menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan
penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup
dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi
purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan
normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang
berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat
menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat
kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan,
dibuka pendidikan Diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya
berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai
tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak
hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi,
konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan
taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan
dengan peserta didik cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar
desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya
juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan
sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat
dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga
kesempatan peserta didik untuk praktek klinik kebidanan sangat kurang, sehingga
tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan
Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan
lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan
tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan
kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu
hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan
1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun
1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh
(Distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan
mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK
Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994 Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah
DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak
pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul
sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes
dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996)
dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16
propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi. Secara
kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah
3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi
dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian
Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50
orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang lulus karena
laporan belum masuk.
Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul.
Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan
yakni sejarah perkembangan di masing-masing negara jelas memiliki perbedaan.
Baik itu dalam perkembangan pelayanan, maupun pendidikan kebidanannya.
Dengan demikian, uaraian-uraian di atas dapat dijadikan pembanding dan dapat kita tela’ah mengenai hal positif dan negatif dari perbedaan tersebut.
Dengan demikian, uaraian-uraian di atas dapat dijadikan pembanding dan dapat kita tela’ah mengenai hal positif dan negatif dari perbedaan tersebut.
3.2 Saran
Tiada gading yang tak retak”, itulah kalimat yang
dapat kami ucapkan. Karena itu kami dengan lapang dada menerima segala kritik
ataupun saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga materi ini dapat
menambah wawasan kita mengenai sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan
bidan. Tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar